Pemetaan Substrat Dasar Perairan
Pada kondisi tertentu pengamatan objek bawah air menggunakan citra satelit dapat dilakukan. Objek bawah air tersebut dapat berupa substrat dasar perairan seperti terumbu karang hidup, terumbu karang mati, pasir, lamun, dan lain sebagainya. Dengan dasar tersebut maka penggunaan citra satelit dapat dikedepankan untuk keperluan pemetaan sumberdaya hayati laut. Mengingat potensi sumberdaya hayati laut Indonesia yang melimpah maka diperlukan
pemetaan sumberdaya hayati tersebut. Salah satu cara untuk mengekstraksi substrat dasar perairan dapat digunakan algoritma Lyzenga (1981) .
Algoritma ini menerapkan algoritma pemetaan pada citra Landsat MSS dengan mempertimbangkan efek pantulan dasar dan atenuasi air.
Penerapan algoritma ini dimaksudkan untuk mendapatkan citra baru dengan cara menggabungkan dua kanal tampak yang mampu penetrasi ke dalam tubuh air hingga kedalaman tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi obyek material penutup dasar perairan laut dangkal (termasuk di dalamnya terumbu karang ).
Penurunan Algoritma Lyzenga
Apabila dasar perairan laut dangkal dapat terlihat atau dengan kata lain cahaya dapat menembus hingga dasar laut dangkal, maka dapat dibentuk suatu hubungan antara kedalaman perairan dengan sinyal pantul yang diterima oleh sensor satelit.
Rumus yang dijadikan acuan adalah Exponential Attenuation Model yang dikembangkan Lyzenga. Algoritma ini menggunakan dua saluran Band sinar tampak citra Landsat, yaitu TM band 1 dan band 2 yang dapat menembus ke dalam kolom perairan.
Pembentukan diagram dua dimensi XTM1 dan XTM2 menjadikan regresi dari nilai pengukuran yang dilakukan pada suatu dasar perairan akan selalu berada pada garis lurus dengan kemiringan KTM1/KTM2 (Ki/Kj).
Persamaan regresi Lyzenga untuk nilai a=(var TM1-var TM2/)(2 x covar TM1TM2), sedangkan nilai Ki/Kj =((a.a)+akar dari(a+1)) yang digunakan dalam operasi penggabungan dua kanal tampak TM1 dan TM2 dengan tujuan untuk mendapatkan citra baru yang lebih menampakkan variasi material penutup dasar perairan laut dangkal.
Penentuan koefisien atenuasi Air
Nilai KTM1/KTM2 dapat diperoleh melalui iterasi citra pada monitor komputer dengan cara: (1) penentuan training area (TA) pada area yang homogen, dan (2) pembentukan grafik dua dimensi untuk menghitung kemiringan garis regresi. Penentuan KTM1/KTM2 dengan ‘metode iterasi’ mempunyai kelemahan, yaitu bahwa hasilnya sangat dipengaruhi oleh nilai pantulan rata-rata TA yang digunakan sebagai acuan, karena proyeksi terhadap garis regresi dilakukan ke arah nilai tersebut.
Bias garis regresi dapat dikurangi dengan meminimalkan jarak tegak lurus dari ‘nilai pendekatan’ yang digunakan terhadap garis regresi mengikuti persamaan berikut:
Nilai a dihitung untuk setiap TA yang diambil, sehingga hasil perhitungan kTM1/kTM2 masih berupa koefisien atenuasi pada setiap TA. Nilai koefisien atenuasi untuk seluruh citra merupakan rerata koefisien atenuasi semua TA.
Density Slicing
Kumpulan obyek homogen pada satu scene citra akan menghasilkan sekumpulan kurva normal, sehingga pada umumnya histogram citra saluran tunggal merupakan kurva multimodal. Pemilahan nilai kecerahan (density slicing) dapat dilakukan dengan ‘mengiris’ kurva besar tersebut menjadi kurva-kurva kecil.
Pemotongan ini menjadikan seluruh julat nilai kecerahan (0 – 255) dipilah menjadi beberapa interval yang masing-masing mewakili klas tertentu. Klasifikasi ‘sementara’ material penutup dasar perairan
laut dangkal tersebut disimbolkan dengan warna yang berbeda, sesuai dengan jumlah hasil pemilahan kurva. Klasifikasi akhir divalidasi dari data lapangan hasil pengukuran in situ.
Referensi : http://sutikno.org/index.php?option=com_content&task=view&id=47&Itemid=2
0 komentar:
Posting Komentar